Pocut Baren adalah seorang bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Cut Amat, seorang uleebalang di Tungkop, Aceh Barat. Masa kecilnya, ia lalui sebagaimana penduduk Aceh lainnya yaitu belajar ilmu agama. Pocut kecil mengaji kepada para ulama, baik yang didatangkan kerumahnya maupun mengaji di meunasah, dayah dan masjid.
Sebagai Penyair
Pocut Baren yang lahir sebagai anak bangsawan ternyata mempunyai banyak bakat alam. Di samping ia sebagai seorang pejuang yang tangguh, ahli dalam bidang pemerintahan agronomi, ternyata ia juga ahli dalam bidang kesenian dan kesusastraan Aceh. Pada saat-saat tertentu syair-syaimya sering dibacakan atau dilantunkan di depan publik. Keahliannya dalam bidang kesusastraan dan kesenian Aceh tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya mengalir darah seni yang kental. Pada saat-saat istirahat dari kesibukannya sebagai pemimpin pemerintahan, ia merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Di saat-saat demikian darah pujangganya mengalir dengan deras. Kenangan-kenangan masa lalunya ia tuangkan dalam bentuk pantun dan syair. Telah banyak pantun dan syairnya yang ditulisnya dalam bahasa Aceh dan huruf Melayu Arab. Oleh para penulis Belanda, karya sastranya banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di perpustakaan Universitas Leiden di Nederland. Oleh masyarakat Aceh sendiri, karya sastranya juga telah banyak dilantunkan pada waktu-waktu tertentu dan acara-acara yang memungkinkan untuk dibacakan. Bahkan telah banyak orang yang mampu menghafal buah karyanya dan ia dendangkan pada saat-sat senggang atau pada acara keluarga. Hasil karya sastranya sampai saat ini masih banyak orang yang melantunkamya. Adapun salah satu contoh penggalan syairya yang tertuang dalam bahasa Aceh sebagai berikut :
Ie Krueng Woyla ceukoe likat
Engkot jilumpat jisangka ie tuba
Seungap di yub seungap di rambat
Meurubok Barat buka suara
Bukon sayang itek di kapay
Jitimoh bulee ka si on sapeue
Bukon sayang bilek ku tinggay
Teumpat ku tido siang dan malam (Zentgraaff, 1982/1983 : 140-141).
Syair tersebut jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kira- kira sebagai berikut:
Sungai Woyla keruh pekat
Ikan melompat dikira tuba
Sunyi di kolong senyap di rambut
Hari malam buka suara
Wahai sayang itik di kapal
Bulunya tumbuh aneka wama
Tinggallah engkau bilikku sayang
Tempat peraduanku siang dan malam.
Syair itu dikutip oleh Zentgraaff dalam bukunya Athjeh. Dalam buku itu Zentgraaff juga menulis. “Pocut Baren sangat disayangi oleh rakyatnya. Uleebalang yang gagah berani sekaligus sastrawan. Syair-syair yang diciptakannya sangat digemari. Namun, betapapun besarnya cinta tetapi tak kuasa melawan takdir, setiap orang akan meninggal, termasuk Pocut Baren. Hal itulah yang terjadi pada wanita itu pada tahun 1933. Ia meninggal dunia pada saat itu, meninggalkan rakyat yang mencintainya, yang masih terus mengenangnya.
Keberhasilannya dalam membangun perekonomian rakyat dan kepiawiannya dalam memimpin serta bakatnya di bidang ikesusastraan Aceh membuat rakyatnya mencintai Pocut Baren. Apalagi syair- syair yang diciptakannya sangat digemari oleh wasyarakat luas. Betapapun besarnya cinta yang dimiliki rakyatnya, tak akan mampu melawan takdir. Pada suatu saat orang pasti akan mati, meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Setelah saatnya tiba, Pocut Baren akhirnya meninggal pada tahun 1933, meninggalkan rakyatnya untuk selamalamanya. (Zentgraaff, 1982/1983 : 142).
Keberanian Pocut dalam menghadapi penjajah di Aceh merupakan suatu tanda bahwa orang aceh tidak akan pernah rela daerahnya di jajah apalagi penajajah tersebut orang-orang kapir. Pocut Baren wafat tahun 1933. Meninggalkan rakyatnya yang sangat mencintainya.
Jika Anda ingin Menziarah Makam Pocut Baren, menuju komplek makam Pocut Baren membutuhkan waktu dua jam perjalanan jika ditempuh dari pusat kota Meulaboh. Akses menuju ke lokasi makam yaitu jalan Meulaboh-Geumpang. Jika malu bertanya pada warga setempat, maka pengunjung bisa tersesat karena tidak dipasang penunjuk khusus menuju lokasi makam. Perjalanan menuju makam juga cukup menantang. Selain melewati pegunungan terjal, kondisi jalannya juga belum di aspal.
Sumber :
- Hasymi A. (1995) Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang, Bulan Bintang Jakarta.
- Ismail Yakub (1972)Riwayat Hidup Para Pahlawan Aceh, YKDpR Indonesia perwakilan aceh : Banda Aceh.
- Said, Muhammad (1961) Aceh Sepangjang Abad, Waspada Medan.
- SULAIMAN, Nasruddin (1994) Wanita Nusantara dalam Lintas Sejarah Bank Exim : Jakarta
- Mengenal tokoh-tokoh aceh dan perjuagannya (1997) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Povinsi Daerah Istimewa Aceh : Banda Aceh